Rabu, 15 Januari 2014

Dari “Kampung Idiot” Menjadi Kampung Pioner


By on Rabu, Januari 15, 2014

Dusun Tanggung Rejo atau yang biasa dikenal  warga sekitar sebagai “Kampung idiot / Tunagrahita” berdiri di tanah tandus kering kawasan lereng gunung kapur. Dengan situasi alam seperti ini jelas warga dusun tersebut tidak mungkin dapat menggerakan ekonomi mereka dengan cara bertani atau berkebun.

Tidak tersediannya koperasi simpan pinjam dan pasar untuk menggerakan ekonomi masyarakat juga memperburuk situasi di dusun ini. Alhasil banyak warga dusun ini masuk kedalam lubang kemiskinan yang lebih dalam dibanding didaerah lain di Kabupaten Ponorogo.

Tercatat 290 Kepala Keluarga (KK) di dusun ini hidup dibawah Garis Kemiskinan kabupaten Ponorogo dan 561 KK hidup hampir miskin. Parahnya lagi akibat tekanan ekonomi dan mahalnya bahan-bahan pokok di dusun ini, banyak dari warga di dusun ini menjadikan nasi Gaplek atau tiwul sebagai makanan utamanya selama bertahun-tahun, alhasil, banyak dari warga mengalami masalah gizi buruk yang konon menjadi penyebab retardasi mental* yang turun temurun di dusun ini.

Dari jumlah populasinya, penyandang Tunagrahita di dusun ini memang terus meningkat. Saat ini terdapat 48 KK dengan total 98 orang menyandang Tunagrahita. Jumlah ini mengalami peningkatan dari 69 orang di tahun 2011.

Seperti layaknya komunitas Tunagrahita lainnya, warga Tunagrahita di dusun ini juga mempunyai berbagai tantangan  dan hambatan untuk menjadi insan yang mandiri layaknya orang pada umumnya. Sebagai contoh, warga Tunagrahita di dusun ini tidak dapat mendapat pekerjaan karena keterbatasan fisik, kemampuan kognitif dan rasa minder yang dimilikinya meskipun sesungguhnya mereka masih relatif muda atau dalam masa-masa usia produktif. Alhasil warga Tunagrahita ini terus dilihat sebagai beban keluarga dan lingkungan dusun ini.

Namun demikian sejak 2010 semua persepsi dan situasi telah jauh berbeda. Warga Tunagrahita di dusun ini telah mendapatkan tempat yang berbeda dihati warga dusun dan juga warga sekitar dusun ini (bahkan dihati para pembaca yang membaca kisah sukses mereka).

Kini dari kolam lele seluas 1×2 meter dibelakang rumah mereka, mereka dapat menghasilkan peghasilan sendiri yang diperoleh dari hasil penjualan 1000 lele per kolam. Dengan laba antara Rp. 150.000 – Rp. 250.000 per tiga bulan sekali inilah mereka dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari pribadi mereka dan dapat hidup mandiri tanpa harus menunggu donasi berupa makanan tiap bulannya. Kini warga Tunagrahita di dusun ini sudah tidak lagi dipandang sebagai beban keluarga dan lingkungan.

Tidak hanya warga Tunagrahita saja yang mendapat dampak positif, penghasilan dusun secara keseluruhan juga meningkat akibat bergeraknya kegiatan ekonomi dan meningkatnya jumlah produksi lele dari kolam di dusun Tanggung Rejo.

Meski relatif lebih kecil jumlah penyandang Tunagrahitanya dibanding dengan desa Sidoharjo (323 orang), kini dusun Tanggung Rejo tidak mustahil bisa bertransformasi dari “Kampung Idiot” untuk menjadi Kampung Pioner untuk memperjuangkan dan mendorong kemandirian kepada penyandang Tunagrahita didaerah sekitar dan di luar Ponorogo.

Eko Mulyadi, Pejuang Kemandirian Tunagrahita

Berangkat dengan prinsip teguh “Keterbatasan fisik bukan penghalang seseorang melakukan aktifitas yang bermanfaat” dan keprihatinan mendalam terhadap warga dan dusunnya yang penuh keterbatasan, Eko memulai program pemberdayaannya di tahun 2010 dengan modal awal Rp. 3.000.000 dari dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia Kediri.

Bersama teman-teman dekatnya, bapak satu orang putri ini menggunakan modal diatas untuk membangun kolam lele sebesar 5,5 x 24 meter yang bisa menampung 24.000 ekor ikan lele. Kolam ini lah yang kemudian menjadi sarana pelatihan penyandang Tunagrahita untuk belajar memberi pakan, membersihkan kolam, hingga penggantian air kolam sebelum kola mini menghasilkan uang untuk mendanai kolam-kolam seluas 1×2 meter di belakang setiap rumah warga penyandang Tunagrahita. Saat ini, dari kolam ini lah 57 kolam kecil lainnya dibangun.

Menurut pemuda yang baru saja diangkat menjadi Kepala Desa ini, pemberdayaan yang dilakukannya tidaklah mudah, terutama diawal pemberdayaan. Menurutnya tantangan terhadap apa yang diyakininya datang dari berbagai arah termasuk dari penyandang Tunagrahita dan warga dusunnya sendiri. Tantangan terberat dari Tunagrahita adalah kesulitan mereka untuk menangkap pengajaran yang ia berikan. Sedangkan dari warga dusunya adalah cemoohan terhadap idenya.

Namun seiring berjalannya waktu, mantan aktifis kampus dan Karang Taruna ini berhasil memberikan pelatihan dan pengajaran kepada Tunagrahita binaannya. Pandangan miring terhadapnya juga perlahan menghilang saat warga melihat apa yang ia kerjakan ternyata membuahkan hasil yang positif bagi para penyandang Tunagrahita dan desa secara keseluruhan. Bahkan saat ini banyak warga lokal yang ikut serta dalam program peberdayaan ini dengan menjadi pengarah kepada setiap satu Tunagrahita, sehingga proses pembudidayaan menjadi lebih efektif.

Baca juga DISINI

sumber : http://felixkusmanto.com/2013/09/30/eko-mulyadi-dari-kampung-idiot-ponorogo-untuk-indonesia/

Pemuda Penggerak Desa

Adalah kumpulan para pemuda atau yang merasa memiliki jiwa muda, semangat muda, dan ingin memberikan yang terbaik kepada kampung halamannya. Di sini kami berbagi apa yang bisa kami bagi, meskipun itu sangat kecil bentuknya. Let's Share, Care, and Inspire...

0 komentar:

Posting Komentar