Senin, 24 Maret 2014

Menikah Itu Pilihan....


By on Senin, Maret 24, 2014

Di tulisan yang sebelumnya, saya sempat menyinggung salah satu sahabat yang ingin menikah muda. Tetapi sahabat saya yang satunya lagi, mereka berdua sudah sama-sama mendapatkan restu dan ridho dari orang tuanya, hanya saja mereka belum mau buru-buru. Alasannya sederhana, menikah itu hanya bukan mencari kesenangannya, tetapi bagaimana membina dan membangunnya setelah menikah kelak.

Kedua sahabat saya ini memang memiliki cara pandang yang berbeda mengenai pernikahan. Mungkin sahabat yang ngebet ingin nikah, memiliki pandangan bahwa menikah itu dapat membawa rezeki. Dengan menikah tentu rezekinya akan ditambah. Semangatnya pula bertambah, karena ada yang memotivasi, melayani serta tempat berbagi, sang istri lah tentunya.

Bagi sahabat saya yang memilih tidak terburu-buru memiliki pandangan bahwa menikah itu harus betul-betul mapan. Ketika menikah semuanya sudah ada, dan tinggal menikmatinya. Sudah punya pekerjaan tetap, rumah, dan kendaraan pribadi. Baru deh nikah. Mungpung masih belum banyak pikiran, jadi fokus mempersiapkan semuanya dulu untuk masa depan. Kalau bisa biaya resepsi pun dari uang sendiri, bukan dari orang tua.

Demikian analisis saya, terkait cara pandang kedua sahabat yang berbeda. Dari keduanya tentu ada sisi positif yang dapat dijadikan pelajaran. Sebagai sahabat dan kawan dekat, tentu saya mendukung semua apa yang menjadi prinsip keduanya.

Bagi saya pribadi, menikah itu pilihan. Jika sudah siap dengan segala konsekuensinya ya kenapa tidak. Toh semuanya sama-sama baik, dan tujuannya juga baik. Bagi yang mampu menikah muda dengan modal nekat ya monggo,... Pasalnya banyak yang berhasil juga. Bagi yang memilih mapan dulu juga ya tak masalah. Diserahkan kepada individu masing-masing.

Dalam sebuah kelas, Ustad Hasyim menyampaikan kepada kami, "Apabila seorang anak itu sudah baligh maka orang tua sudah tidak berkewajiban mengurusinya, begitulah ilmu fiqihnya". Kata Ust. Hasyim. Tetapi karena ada hubungan sosiologislah maka (anak) sampai kuliah pun kebanyakan masih dibiayai oleh orang tua. Padahal jika sudah baligh, sudah dianggap selesai dan bisa menentukan hidupnya sendiri.

Sehingga keputusan menikah untuk anak laki-laki diserahkan kepada dirinya sendiri, tidak ada campur tangan orang tua. Tetapi idealnya, dirembukkan dahulu dan dibicarakan bareng-bareng, demi kebaikan bersama juga. Tetapi secara ilmu fiqh, meski menikah sendiri (tanpa orangtua) ya boleh=boleh saja. Tapi hal itu masih dianggap tabu karena bagaimanapun orangtua harus tahu.

Kalau boleh memilih, saya lebih sepakat dengan sahabat yang pertama. Meski terlihat berat dan penuh tantangan tetapi inilah rahasia Allah. Seberapa besar dan seberapa kuat kita menyandarkan diri kepada Allah. Saya yakin, orang yang menikah muda apalagi modal nekad biasanya sandarannya adalah Allah, dan potensi hidupnya akan sukses. “Tenang, kita punya Allah, semuanya kita serahkan padaNya..” mereka dengan mantap dan penuh keyakinan mengatakannya.

Kalau engkau takut miskin karena menikah, Allah lah yang akan mencukupkan rezekimu. Kenapa harus takut dan bimbang. Toh, Allah itu tidak tidur kok.. Materi itu bisa dicari dan diusahakan, selagi ada usaha pastilah ada jalan.

Tapi, bagi saya di sinilah tantangan yang sesungguhnya. Biasanya pihak dari orang tua yang merasa ragu, bahkan menolak untuk menyerahkan anak perempuannya, kepada lelaki yang bermodalkan nekad karena Allah. Ini kendala pertama. Kendala yang kedua, tak sedikit kaum hawa yang mau diajak demikian, karena masih ragu dengan nasib masa depannya. "Bagaimana masa depan saya nanti..? kebanyakan perempuan mencari lelaki yang sudah mapan.

Bagi sebagian orang, kemapanan diduga akan membawa kebahagiaan. Kita tak akan pernah tahu nasib kita kedepan kok, banyak kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Kadang di atas kadang di bawah, tidak semuanya yang memiliki materi akan berada di posisi atas, dan yang saat ini posisinya di bawah siapa tahu akan berjaya dan berada di atas.

Padahal, kemapanan belum tentu membawa kebahagiaan, ketenteraman dan kedamaian. Rasanya terlalu rendah bila kita mengukur kebahagiaan itu dengan sebuah materi. Saya paling tidak sepakat dengan hal ini. Harta itu penting tetapi bukan yang utama. Karena pada dasarnya yang dibawa mati hanyalah amal. Manusia yang baik ialah yang berpikir jauh kedepan.

Saat ini saya tidak memilih untuk menikah muda, karena sebuah alasan. Sebagai seorang anak yang baik, tugas saya adalah membahagiakan orang tua dulu. Saya lebih memilih orang tua, karena merekalah yang selalu ada buat saya, terutama Ibu. Urusan jodoh, pernikahan, semuanya saya serahkan kepada yang maha kuasa saja. Terpenting jadi anak shalih, memantaskan diri dan memperbaiki diri. [Zah]

Semoga bermanfaat...



Pemuda Penggerak Desa

Adalah kumpulan para pemuda atau yang merasa memiliki jiwa muda, semangat muda, dan ingin memberikan yang terbaik kepada kampung halamannya. Di sini kami berbagi apa yang bisa kami bagi, meskipun itu sangat kecil bentuknya. Let's Share, Care, and Inspire...

1 komentar:

  1. Assalamualaikum sahabatku, barakallah....

    Tulisan yang sangat INSPIRATIF dan LUAR BIASA. Tapi, boleh koment dikit yaaa tentang ungkapan yang ini, mohon maap sebelumnya. Hehehhe

    Njenengan beralasan tidak memilih untuk nikah muda dengan alasan

    "Sebagai seorang anak yang baik, tugas saya adalah membahagiakan orang tua dulu. Saya lebih memilih orang tua, karena merekalah yang selalu ada buat saya, terutama Ibu."

    Bukankan membahagiakan ortu juga bisa kita lakukan saat kita sudah menikah? hhhehehehe
    PEACE ......!!!

    BalasHapus